[MOVIE REVIEW] MURDER ON THE ORIENT EXPRESS (2017)

MURDER ON THE ORIENT EXPRESS

“Untuk pertama kalinya, aku akan menerima sebuah ketidakseimbangan”
-Hercule Poirot-

Ratchett gelisah. Di ruang kamar dalam kereta Orient Express yang elit itu, ia mendapat ancaman entah yang ke berapa, entah dari siapa. Satu hal yang pasti, ada seseorang yang sepertinya bukan lagi berencana melainkan benar-benar ingin membunuhnya. Sialnya, ia tahu persis hawa jiwa yang jahat itu sedang mengintainya di dalam kereta yang sama tapi tak tahu siapa. Sedikit bisa bernapas, ia satu gerbong dengan detektif asal Belgia, Hercule Poirot, yang tengah asyik menikmati karya Charles Dickensnya itu. Dengan membawa kue Fragilitenya ia menghampiri Poirot, mencari kesempatan meminta, ah, tidak, lebih tepatnya menodongnya terang-terangan untuk menjaganya dari kemungkinan pelaku yang mengancam dirinya.
Poirot jelas mudah menolak tawaran yang melawan harga dirinya itu. Selepasnya, pertemuan tersebut akan menjadi akhir tatap wajah antara Poirot dan Rachett.
Hari mulai malam. Masih ada tiga hari lagi hingga kereta sampai ke tujuan. Semua beristirahat. Dan paginya, Poirot benar-benar telah pergi untuk selamanya, lengkap dengan luka tusuk di sekujur tubuhnya di dalam kamarnya. Luka bertusuk-tusuk yang sangat tak wajar.
Poirot pun berkata kurang lebih begini, “Memang benar ada beberapa orang di dunia ini yang lebih baik disingkirkan karena dirinya menyebalkan tetapi aku tak pernah membenarkan sebuah pembunuhan”.
Misteri dimulai dari situ.
Menanti Kebenaran
Tak ada yang lebih asyik dari keinginan kita untuk duduk manis menikmati setiap kisah-kisah dalam serial detektif. Entah dalam produk kartun, novel ataupun film. Misteri muncul ke permukaan, korban berjatuhan dan kita tidak pernah menyangka siapa yang melakukannya, apa penyebab pelakunya melakukan kejahatan tertentu hingga bagaimana seharusnya kita mengungkap kejahatan tersebut. Pada situasi itulah dengan segera rasa ingin tahu kita muncul, semalas apapun dalam kesehariannya otak kita berpikir.
Daya tarik utama dari sebuah cerita bertema detektif adalah bagaimana sang penulis cerita (dalam medium novel) atau sutradara (dalam medium film) mengarahkan suatu kasus tertentu menjadi menarik untuk diikuti. Lebih tepatnya, bagaimana menyisipkan makna yang mendalam dalam kasus yang ingin disuguhkan. Murder On The Orient Express merupakan karya klasik sepanjang jaman dari novelis Agatha Christie dan telah diadaptasi ke layar lebar tiga kali ini menyuguhkan makna mendalam yang dimaksud. Sebuah misteri pembunuhan mustahil yang bukan hanya merepotkan si detektif tetapi nantinya akan menggugah pertanyaan-pertanyaan moral di dalam bathin kita sendiri.
Poirot (Kenneth Brannagh) harus merelakan waktu libur untuk kesekian kalinya demi mengungkap satu kebenaran di balik kematian dari seseorang yang baru saja ia tolak tawaran “kerja”nya mentah-mentah, yakni Samuel Ratchett (Johnny Deep). Orient Express tinggal menyisakan kumpulan orang dengan status sosial yang terpandang yang sangat berkemungkinan menjadi tersangka karena berada satu gerbong yang sama dengan Poirot dan juga Ratchett, mereka adalah asisten pribadinya MacQueen & Masterman, Mr Arbuthnott sang dokter, Mrs Debenham seorang guru geografi, Ratu Dragomiroff dan asistennya Hildegarde, Mrs Hubbard yang menawan, Pilar yang baru saja menemukan Tuhan dalam bathinnya atau sepasang ratu dan raja menyebalkan, Profesor dari Turin yakni Mr Hardman Count Andrenyi dan Countess Elena Andrenyi.
Seluruh penumpang yang menjadi tersangka memiliki alibi yang menyebalkan karena mereka tidak sejujurnya memberi keterangan. Jarang saya menemukan dalam serial detektif, detektifnya berkata sefrustasi ini, “entah mengapa masing-masing dari mereka jelas-jelas memberiku informasi yang salah di depan muka ku padahal jelas aku mengetahui kebohongan tersebut”. Setidaknya kekesalan ini dua kali ia utarakan pada perempuan yang pertama kali ditemuinya di dermaga, sang guru geografi yang jelas pula adalah seorang tersangka, Mrs. Debenham.
Singkat cerita, kesemua tersangka memiliki pertautan secara tak langsung dengan Ratchett yang bermuara pada satu kasus yang pernah terjadi beberapa tahun lalu. Satu peristiwa yang akhirnya menumpuk dendam di diri para penumpang tak biasa itu. Tak khayal bila di awal interogasi, satu kalimat yang diucapkan oleh Poirot  di depan 13 tersangka yakni “there’s an evil in this train”.
Kenneth Branagh as Hercule Poirot

Waktu semakin mepet, bukti-bukti sudah seluruhnya nampak dan terkumpul, para petugas penderek juga sudah bersiap mengembalikan kereta kembali ke jalurnya yang sebelumnya diterpa oleh runtuhan salju selama beberapa hari lamanya. Sialnya, Poirot tak kunjung mendapatkan bayangan bagaimana proses kejahatan itu dilakukan secara sempurna di depan matanya tanpa meninggalkan jejak celah. Bagi akal sehatnya, tidak mungkin tidak seorang pelaku pembunuhan secerdik apapun dapat menuntaskan kejahatannya tanpa melakukan kesalahan.
Kira-kira, yang mana pembunuhnya

Pun ia mengantongi nama-nama yang terduga kuat melakukannya, ia akan tetap kembali pada ketidakmustahilan itu. Lantas, di antara 13 orang itu siapakah pembunuhnya aslinya??
Moral dalam Batin
Branagh yang berperan sebagai Poirot dan juga selaku sutradara agaknya tepat dalam melibatkan artis-artis papan atas dalam film ini. Latar pembunuhan dalam serial detektif jelas bukan merupakan sesuatu yang istimewa. Hanya, seperti yang telah saya jelaskan di atas, serial detektif adalah soal bagaimana membuat setiap kasus menjadi menarik bukan? Agar cerita dapat menarik maka setiap karakter harus dihidupkan dengan permainan akting yang juga profesional.
Full Cast, Full Stars
Ada dua hal dalam plot twist yang disuguhkan oleh Kenneth Branagh yakni momen ketika Poirot pada akhirnya memutuskan siapa sebetulnya yang menjadi pembunuh dalam kasus ini dan (ini yang menurut saya paling penting) bagaimana Poirot harus bersikap ketika justru pelakunya sudah tertangkap. Terjadi pertentangan moral dalam pikiran dan hatinya tentang alasan sang pembunuh membunuh Ratchett. Pertanyaan moralis nan paradoksal: “Apakah membunuh seorang pembunuh atau dengan kata lain, nyawa dibayar nyawa dapat dibenarkan?”, bagaimana menurut Anda?.
Terlepas dari interogasi yang kurang menggugah, potongan scene yang terlalu cepat (jelas kecepatan berpikir penonton ga sama dengan Poirot) yang berpengaruh pada kurang mendalamnya karakter, atau dengan bahasa yang lebih halus: secukupnya tetapi tidak mengurangi rasa simpati penonton sepanjang film, baik terhadap Poirot, baik kepada pelaku bahkan kepada Ratchett yang jelas-jelas terlihat brengsek setelah kita tahu latar belakangnya nanti.
Keindahan visual tentang hiruk-pikuk kota Istanbul yang didominasi warna-warna coklat terang, gurun salju dengan dominasi warna putih memenuhi setiap layar. Pun, kita wajib berterima kasih kepada Patrick Doyle selaku music composer yang menjaga emosi kita lewat denting-denting piano pada scene-scene tertentu (momen yang paling pas adalah ketika reka ulang kejadian pada malam pembunuhan) dan Michael Pffeifer yang bukan hanya sukses memerankan Mrs tetapi juga dengan indah menyanyikan soundtrack film ini yang berjudul Never Forget.
Yah, pada akhirnya mari berharap agar tak banyak orang yang tiba-tiba tersugesti asal-asalan untuk bertingkah layaknya detektif yang selalu ingin dilafalkan dengan jelas Her-kyu-le Pwa-ro setelah keluar dari bioskop tetapi lebih tertarik terlibat dalam renungan moralitas yang terkadang bisa sangat abu-abu itu.
Bahkan, Poirot pun mengakuinya.

Sutradara: Kenneth Branagh | Produser: Kenneth Branagh, Matthew Jenkins, Simon Kinberg | Music: Patrick Doyle | Produksi: 20th Century Fox | Artis: Kenneth Branagh, Daisy Ridley, Michelle Pfeiffer, Willem Defoe Johnny Deep, Leslie Odom Jr, Penelope Cruz, Josh Gad, Derek Jacobi, Judi Dench, Lucy Boynton, Tom Bateman, Sergei Polunin   | Durasi: 1 jam 54 menit

Komentar

  1. Film ini menurut saya disajikan dengan terlalu lembut. Pembunuhan yang sadis ditambah alasan dendam, tidak ditampilkan secara brutal dan kelam. Malah terlihat elegan, klasik, dan hati-hati sekali. Ini kembali ke selera, hanya saya kurang terkesan dengan film ini. Apalagi menjelang akhir ketika sang detektif mengungkap pembunuhnya, sedrama itu ya kisah detektifnya. Saya justru tertarik untuk membaca novelnya supaya saya tahu seperti apa kisah asli dan suasana seharusnya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer